Pemuda itu bernama Hyde. Sosok misterius seperti arti namanya. Dia adalah manusia terabstrak yang pernah aku temui di muka bumi. Ucapannya adalah teka-teki dan tindakannya adalah misteri.
Pemuda dengan kemeja navy itu sangat suka menyendiri. Duduk di sudut kelas dan irit bicara. Meski sedikit, kata-kata yang keluar mulutnya selalu menjadi hal yang paling aku tunggu keberadaanya.
Sudah dua minggu aku duduk di sebelah dan mengganggu hidupnya yang tenang. Tapi kata Gina, sahabatku di kelas, aku tidak perlu merasa begitu. Toh, Hyde tidak pernah mengusirku. Tidak menolak, tapi juga tidak menerima.
Seperti biasa, aku datang dengan sebuah senyum yang tak pernah ia balas. Lebih tepatnya, belum. Aku yakin, suatu saat dia pasti akan membalas senyuman itu. Meski aku tidak pernah tahu kapan hal itu akan terjadi.
Hyde kembali melanjutkan aktifitas menggambarnya yang terjeda. Hari itu Gina tidak hadir karena ikut menemani kakaknya di rumah sakit.
“Kenapa namanya Omega dan Alpha?” tanyaku setelah membaca nama di atas tokoh yang di gambarnya.
Menggambar adalah satu-satunya kesamaan di antara kami. Selebihnya, aku dan Hyde adalah dua sisi mata koin yang berbeda. Aku kanan, Hyde adalah kiri. Aku suka bicara, dia lebih suka diam. Aku sangat ceroboh, dia sangat teliti. Aku panikan dan dia tipe orang yang tenang. Anehnya, aku selalu ingin dekat dengannya meski rasanya selalu jauh. Sekarang aku tahu alasan Gina menjulukiku kepala batu.
Hyde tak juga menjawab pertanyaanku. Aku berusaha menerka-nerka makna gambarnya. Dua orang yang saling berdiri membelakangi sebuah pohon. Apa dia sedang galau? Tapi siapa yang akan jadi objek kegalauannya? Yang aku tahu, Hyde selalu bangga karena dia setia pada status singlenya sejak lahir. Jangankan pasangan, teman di kelas saja dia tak punya.
“Golongan darahmu pasti B, ya Hyde?”
“Bukan.”
Akhirnya Hyde mau membuka suara.
“Kamu pasti bohong.”
“Nggak.”
“Tapi katanya orang bergolongan darah B itu introvert, Hyde. Nggak suka bergaul, penyendiri. Tapi kalau udah deket, asik. Sama kayak kamu.”
“Emang udah deket?”
“Aku sih ngerasa udah, nggak tahu kalau kamu.”
Ucapanku membuat Hyde terdiam. Ia memandang kosong ujung pensil yang digenggamnya.
“Emang aku asik?” tanyanya lagi.
“Lumayan sih, apalagi kalau lagi bijak. Tapi, aku nggak suka kalau kamu diem. Berasa, horror.”
Selama dua minggu mengenalnya. Hyde bisa jadi orang ter-bijak yang pernah aku kenal saat kubuat kesal. Meski aneh dan abstrak, dia adalah teman bagiku. Awalaupun aku sadar, bahwa ada atau tidaknya hadirku tidak akan pernah cukup berarti di hidupnya.
“Gitu?”
“Iya.” Jawabku yakin. “Jadi, aku benar kan?” tanyaku lagi.
“Sok tau.”
“Berarti golongan darahmu bukan B?”
“Hm.”
Aku mengalah. Risetku selama seminggu ini ternyata salah. Andai aku menuruti nasehat Gita, aku tidak akan membuang-buang waktu untuk membaca buku komik golongan darah yang selalu aku anggap benar itu.
Setelah puas meruntuki diri sendiri, mataku melirik karya Hyde yang hampir selesai.
“Kenapa mereka sedih, Hyde?”
“Nggak sedih.”
“Tapi?”
“Belum bahagia.”
Aku mengerutkan kening.
“Sedih dan belum bahagia kan sama saja Hydein Correno.”
Nama lengkap pemuda beralis tebal itu membuatku teringat suatu peristiwa konyol yang pernah terjadi di ruangan ini.
“Hah Cornetto? Nama apa es krim?” cercaku saat pertama kali Hyde memperkenalkan dirinya di depan kelas. Kualitas pendengaranku yang tidak cukup baik, terkadang jadi boomerang bagiku. Seperti hari itu, saat seluruh mata menuju ke arahku seketika. Gina yang panik segera membekap mulutku agar berhenti bicara.
“Beda.” Ucapan Hyde memecahkan lamunanku.
Sial. Aku harap pemuda itu tidak menganggapku gila karena tidak bisa menahan senyum saat mengingat kejadian konyol itu. Aku segera kembali fokus pada topik percakapan dan mengomentari karya Hyde.
“Kenapa harus saling membelakangi pohon, sih? Padahal duduk berdua dan makan buah apel di bawah pohon kan lebih enak.” Protesku.
Hyde kembali diam. Entah apa yang difikirkannya saat itu. Aku melirik dengan ekor mata dan mendapatinya sedang menahan tawa. Lucu. Aku suka berlama-lama melihatnya dari samping seperti ini. Air muka Hyde terlihat sangat menenangkan. Mata elang itu tiba-tiba memandang ke arahku. Aku yang terkejut segera beralih pura-pura membaca buku. Dalam hati aku merapal doa, semoga Hyde tidak menyadarinya.
“Apa fungsi pohon di gambar ini?”
“Hah, a-apa?” tanyaku tergagap.
“Menurutmu, apa fungsi pohon di gambar ini?” Hyde mengulangi pertanyaannya.
Aku berfikir sejenak. Mengamati kembali setiap goresan pensil di bukunya. Hyde selalu saja berhasil mengejutkanku dengan pertanyaan tak terduga.
“Tempat berteduh supaya nggak kepanasan?” jawabku asal.
Hyde menggeleng perlahan seraya menahan senyum di bibir tipisnya. Lagi-lagi pemuda itu selalu saja menahannya. Apa salahnya untuk senyum atau tertawa barang sekali saja? Tanyaku yang selalu menggema dalam hati namun tak sampai hati untuk tercuap. Aku merasa kecewa. Untuk kesekian kalinya, aku tidak berhasil membuatnya senyum ataupun tertawa.
Sebenarnya apa yang menahanmu untuk tidak menampakkan senyum atau tawamu Hyde? Kenapa kamu selalu menyembunyikan dan membohongi perasaanmu sendiri?
“Hadirnya untuk memisahkan.” Jawabku lagi.
Hyde beralih memandangku dengan air muka terkejut. Tatapannya sulit aku artikan. Dengan jarak yang sangat dekat itu, aku dapat melihat bola matanya yang berwarna coklat muda dengan instens. Mata tajamnya seolah menghipnotisku untuk tidak berpaling pada hal lain. Sekelebat perasaan aneh menyelinap dalam benak. Darahku berdesir. Aku tidak bisa menahan jantungku yang berdebar dengan cepat.
Kenapa? Kenapa harus berdebar untuk pemuda abstrak ini?
“Terkadang yang terlihat memisahkan bisa jadi hal yang akan menyatukan.” Kata Hyde dengan tenang kemudian kembali pada gambarnya.
Aku berpaling ke arah lain kemudian menggaruk kepalaku yang tak gatal.
Bingung. Jawaban Hyde selalu saja terdengar rumit untuk aku mengerti. Sepertinya aku butuh lebih banyak waktu agar kalimat itu bisa dicerna kepala dan dapat kupahami.
Dosen mata kuliah yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Kalimatnya Hyde menjadi penutup obrolan kami hari itu.
Setelah sesi kelas berakhir, sebatang snack coklat mendarat dengan sempurna di hadapanku. Aku mengerutkan dahi kemudian mengendarkan pandangan ke ruang kelas yang redup.
Seorang pemuda dengan jaket bomber berwarna army yang berjalan dari arah belakang mengejutkanku. Tidak kudapati seorangpun selain aku, setelah kepergiannya.
Dia meninggalkan diriku dengan segudang tanya. Aku segera berlari mengejarnya. Sesampainya di luar kelas, tidak ada seorangpun di sana. Aku berlari menyusuri koridor, menuruni tangga. Tapi takdir tidak menghendaki pertemuanku denganya.
Pemuda dengan kemeja navy itu sangat suka menyendiri. Duduk di sudut kelas dan irit bicara. Meski sedikit, kata-kata yang keluar mulutnya selalu menjadi hal yang paling aku tunggu keberadaanya.
Sudah dua minggu aku duduk di sebelah dan mengganggu hidupnya yang tenang. Tapi kata Gina, sahabatku di kelas, aku tidak perlu merasa begitu. Toh, Hyde tidak pernah mengusirku. Tidak menolak, tapi juga tidak menerima.
Seperti biasa, aku datang dengan sebuah senyum yang tak pernah ia balas. Lebih tepatnya, belum. Aku yakin, suatu saat dia pasti akan membalas senyuman itu. Meski aku tidak pernah tahu kapan hal itu akan terjadi.
Hyde kembali melanjutkan aktifitas menggambarnya yang terjeda. Hari itu Gina tidak hadir karena ikut menemani kakaknya di rumah sakit.
“Kenapa namanya Omega dan Alpha?” tanyaku setelah membaca nama di atas tokoh yang di gambarnya.
Menggambar adalah satu-satunya kesamaan di antara kami. Selebihnya, aku dan Hyde adalah dua sisi mata koin yang berbeda. Aku kanan, Hyde adalah kiri. Aku suka bicara, dia lebih suka diam. Aku sangat ceroboh, dia sangat teliti. Aku panikan dan dia tipe orang yang tenang. Anehnya, aku selalu ingin dekat dengannya meski rasanya selalu jauh. Sekarang aku tahu alasan Gina menjulukiku kepala batu.
Hyde tak juga menjawab pertanyaanku. Aku berusaha menerka-nerka makna gambarnya. Dua orang yang saling berdiri membelakangi sebuah pohon. Apa dia sedang galau? Tapi siapa yang akan jadi objek kegalauannya? Yang aku tahu, Hyde selalu bangga karena dia setia pada status singlenya sejak lahir. Jangankan pasangan, teman di kelas saja dia tak punya.
“Golongan darahmu pasti B, ya Hyde?”
“Bukan.”
Akhirnya Hyde mau membuka suara.
“Kamu pasti bohong.”
“Nggak.”
“Tapi katanya orang bergolongan darah B itu introvert, Hyde. Nggak suka bergaul, penyendiri. Tapi kalau udah deket, asik. Sama kayak kamu.”
“Emang udah deket?”
“Aku sih ngerasa udah, nggak tahu kalau kamu.”
Ucapanku membuat Hyde terdiam. Ia memandang kosong ujung pensil yang digenggamnya.
“Emang aku asik?” tanyanya lagi.
“Lumayan sih, apalagi kalau lagi bijak. Tapi, aku nggak suka kalau kamu diem. Berasa, horror.”
Selama dua minggu mengenalnya. Hyde bisa jadi orang ter-bijak yang pernah aku kenal saat kubuat kesal. Meski aneh dan abstrak, dia adalah teman bagiku. Awalaupun aku sadar, bahwa ada atau tidaknya hadirku tidak akan pernah cukup berarti di hidupnya.
“Gitu?”
“Iya.” Jawabku yakin. “Jadi, aku benar kan?” tanyaku lagi.
“Sok tau.”
“Berarti golongan darahmu bukan B?”
“Hm.”
Aku mengalah. Risetku selama seminggu ini ternyata salah. Andai aku menuruti nasehat Gita, aku tidak akan membuang-buang waktu untuk membaca buku komik golongan darah yang selalu aku anggap benar itu.
Setelah puas meruntuki diri sendiri, mataku melirik karya Hyde yang hampir selesai.
“Kenapa mereka sedih, Hyde?”
“Nggak sedih.”
“Tapi?”
“Belum bahagia.”
Aku mengerutkan kening.
“Sedih dan belum bahagia kan sama saja Hydein Correno.”
Nama lengkap pemuda beralis tebal itu membuatku teringat suatu peristiwa konyol yang pernah terjadi di ruangan ini.
“Hah Cornetto? Nama apa es krim?” cercaku saat pertama kali Hyde memperkenalkan dirinya di depan kelas. Kualitas pendengaranku yang tidak cukup baik, terkadang jadi boomerang bagiku. Seperti hari itu, saat seluruh mata menuju ke arahku seketika. Gina yang panik segera membekap mulutku agar berhenti bicara.
“Beda.” Ucapan Hyde memecahkan lamunanku.
Sial. Aku harap pemuda itu tidak menganggapku gila karena tidak bisa menahan senyum saat mengingat kejadian konyol itu. Aku segera kembali fokus pada topik percakapan dan mengomentari karya Hyde.
“Kenapa harus saling membelakangi pohon, sih? Padahal duduk berdua dan makan buah apel di bawah pohon kan lebih enak.” Protesku.
Hyde kembali diam. Entah apa yang difikirkannya saat itu. Aku melirik dengan ekor mata dan mendapatinya sedang menahan tawa. Lucu. Aku suka berlama-lama melihatnya dari samping seperti ini. Air muka Hyde terlihat sangat menenangkan. Mata elang itu tiba-tiba memandang ke arahku. Aku yang terkejut segera beralih pura-pura membaca buku. Dalam hati aku merapal doa, semoga Hyde tidak menyadarinya.
“Apa fungsi pohon di gambar ini?”
“Hah, a-apa?” tanyaku tergagap.
“Menurutmu, apa fungsi pohon di gambar ini?” Hyde mengulangi pertanyaannya.
Aku berfikir sejenak. Mengamati kembali setiap goresan pensil di bukunya. Hyde selalu saja berhasil mengejutkanku dengan pertanyaan tak terduga.
“Tempat berteduh supaya nggak kepanasan?” jawabku asal.
Hyde menggeleng perlahan seraya menahan senyum di bibir tipisnya. Lagi-lagi pemuda itu selalu saja menahannya. Apa salahnya untuk senyum atau tertawa barang sekali saja? Tanyaku yang selalu menggema dalam hati namun tak sampai hati untuk tercuap. Aku merasa kecewa. Untuk kesekian kalinya, aku tidak berhasil membuatnya senyum ataupun tertawa.
Sebenarnya apa yang menahanmu untuk tidak menampakkan senyum atau tawamu Hyde? Kenapa kamu selalu menyembunyikan dan membohongi perasaanmu sendiri?
“Hadirnya untuk memisahkan.” Jawabku lagi.
Hyde beralih memandangku dengan air muka terkejut. Tatapannya sulit aku artikan. Dengan jarak yang sangat dekat itu, aku dapat melihat bola matanya yang berwarna coklat muda dengan instens. Mata tajamnya seolah menghipnotisku untuk tidak berpaling pada hal lain. Sekelebat perasaan aneh menyelinap dalam benak. Darahku berdesir. Aku tidak bisa menahan jantungku yang berdebar dengan cepat.
Kenapa? Kenapa harus berdebar untuk pemuda abstrak ini?
“Terkadang yang terlihat memisahkan bisa jadi hal yang akan menyatukan.” Kata Hyde dengan tenang kemudian kembali pada gambarnya.
Aku berpaling ke arah lain kemudian menggaruk kepalaku yang tak gatal.
Bingung. Jawaban Hyde selalu saja terdengar rumit untuk aku mengerti. Sepertinya aku butuh lebih banyak waktu agar kalimat itu bisa dicerna kepala dan dapat kupahami.
Dosen mata kuliah yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Kalimatnya Hyde menjadi penutup obrolan kami hari itu.
Setelah sesi kelas berakhir, sebatang snack coklat mendarat dengan sempurna di hadapanku. Aku mengerutkan dahi kemudian mengendarkan pandangan ke ruang kelas yang redup.
Seorang pemuda dengan jaket bomber berwarna army yang berjalan dari arah belakang mengejutkanku. Tidak kudapati seorangpun selain aku, setelah kepergiannya.
Dia meninggalkan diriku dengan segudang tanya. Aku segera berlari mengejarnya. Sesampainya di luar kelas, tidak ada seorangpun di sana. Aku berlari menyusuri koridor, menuruni tangga. Tapi takdir tidak menghendaki pertemuanku denganya.