Senin, 25 Mei 2020 0 komentar

Part 1 – Pemuda itu bernama Hyde

Pemuda itu bernama Hyde. Sosok misterius seperti arti namanya. Dia adalah manusia terabstrak yang pernah aku temui di muka bumi. Ucapannya adalah teka-teki dan tindakannya adalah misteri.

Pemuda dengan kemeja navy itu sangat suka menyendiri. Duduk di sudut kelas dan irit bicara. Meski sedikit, kata-kata yang keluar mulutnya selalu menjadi hal yang paling aku tunggu keberadaanya.

Sudah dua minggu aku duduk di sebelah dan mengganggu hidupnya yang tenang. Tapi kata Gina, sahabatku di kelas, aku tidak perlu merasa begitu. Toh, Hyde tidak pernah mengusirku. Tidak menolak, tapi juga tidak menerima.

Seperti biasa, aku datang dengan sebuah senyum yang tak pernah ia balas. Lebih tepatnya, belum. Aku yakin, suatu saat dia pasti akan membalas senyuman itu. Meski aku tidak pernah tahu kapan hal itu akan terjadi.

Hyde kembali melanjutkan aktifitas menggambarnya yang terjeda. Hari itu Gina tidak hadir karena ikut menemani kakaknya di rumah sakit.

“Kenapa namanya Omega dan Alpha?” tanyaku setelah membaca nama di atas tokoh yang di gambarnya.

Menggambar adalah satu-satunya kesamaan di antara kami. Selebihnya, aku dan Hyde adalah dua sisi mata koin yang berbeda. Aku kanan, Hyde adalah kiri. Aku suka bicara, dia lebih suka diam. Aku sangat ceroboh, dia sangat teliti. Aku panikan dan dia tipe orang yang tenang. Anehnya, aku selalu ingin dekat dengannya meski rasanya selalu jauh. Sekarang aku tahu alasan Gina menjulukiku kepala batu.

Hyde tak juga menjawab pertanyaanku. Aku berusaha menerka-nerka makna gambarnya. Dua orang yang saling berdiri membelakangi sebuah pohon. Apa dia sedang galau? Tapi siapa yang akan jadi objek kegalauannya? Yang aku tahu, Hyde selalu bangga karena dia setia pada status singlenya sejak lahir. Jangankan pasangan, teman di kelas saja dia tak punya.

“Golongan darahmu pasti B, ya Hyde?”

“Bukan.”

Akhirnya Hyde mau membuka suara.

“Kamu pasti bohong.”

“Nggak.”

“Tapi katanya orang bergolongan darah B itu introvert, Hyde. Nggak suka bergaul, penyendiri. Tapi kalau udah deket, asik. Sama kayak kamu.”

“Emang udah deket?”

“Aku sih ngerasa udah, nggak tahu kalau kamu.”
Ucapanku membuat Hyde terdiam. Ia memandang kosong ujung pensil yang digenggamnya.

“Emang aku asik?” tanyanya lagi.

“Lumayan sih, apalagi kalau lagi bijak. Tapi, aku nggak suka kalau kamu diem. Berasa, horror.”

Selama dua minggu mengenalnya. Hyde bisa jadi orang ter-bijak yang pernah aku kenal saat kubuat kesal. Meski aneh dan abstrak, dia adalah teman bagiku. Awalaupun aku sadar, bahwa ada atau tidaknya hadirku tidak akan pernah cukup berarti di hidupnya.

“Gitu?”

“Iya.” Jawabku yakin. “Jadi, aku benar kan?” tanyaku lagi.

“Sok tau.”

“Berarti golongan darahmu bukan B?”

“Hm.”

Aku mengalah. Risetku selama seminggu ini ternyata salah. Andai aku menuruti nasehat Gita, aku tidak akan membuang-buang waktu untuk membaca buku komik golongan darah yang selalu aku anggap benar itu.

Setelah puas meruntuki diri sendiri, mataku melirik karya Hyde yang hampir selesai.

“Kenapa mereka sedih, Hyde?”

“Nggak sedih.”

“Tapi?”

“Belum bahagia.”

Aku mengerutkan kening.

“Sedih dan belum bahagia kan sama saja Hydein Correno.”

Nama lengkap pemuda beralis tebal itu membuatku teringat suatu peristiwa konyol yang pernah terjadi di ruangan ini.

“Hah Cornetto? Nama apa es krim?” cercaku saat pertama kali Hyde memperkenalkan dirinya di depan kelas. Kualitas pendengaranku yang tidak cukup baik, terkadang jadi boomerang bagiku. Seperti hari itu, saat seluruh mata menuju ke arahku seketika. Gina yang panik segera membekap mulutku agar berhenti bicara.

“Beda.” Ucapan Hyde memecahkan lamunanku.

Sial. Aku harap pemuda itu tidak menganggapku gila karena tidak bisa menahan senyum saat mengingat kejadian konyol itu. Aku segera kembali fokus pada topik percakapan dan mengomentari karya Hyde.

“Kenapa harus saling membelakangi pohon, sih? Padahal duduk berdua dan makan buah apel di bawah pohon kan lebih enak.” Protesku.

Hyde kembali diam. Entah apa yang difikirkannya saat itu. Aku melirik dengan ekor mata dan mendapatinya sedang menahan tawa. Lucu. Aku suka berlama-lama melihatnya dari samping seperti ini. Air muka Hyde terlihat sangat menenangkan. Mata elang itu tiba-tiba memandang ke arahku. Aku yang terkejut segera beralih pura-pura membaca buku. Dalam hati aku merapal doa, semoga Hyde tidak menyadarinya.

“Apa fungsi pohon di gambar ini?”

“Hah, a-apa?” tanyaku tergagap.

“Menurutmu, apa fungsi pohon di gambar ini?” Hyde mengulangi pertanyaannya.

Aku berfikir sejenak. Mengamati kembali setiap goresan pensil di bukunya. Hyde selalu saja berhasil mengejutkanku dengan pertanyaan tak terduga.

“Tempat berteduh supaya nggak kepanasan?” jawabku asal.

Hyde menggeleng perlahan seraya menahan senyum di bibir tipisnya. Lagi-lagi pemuda itu selalu saja menahannya. Apa salahnya untuk senyum atau tertawa barang sekali saja? Tanyaku yang selalu menggema dalam hati namun tak sampai hati untuk tercuap. Aku merasa kecewa. Untuk kesekian kalinya, aku tidak berhasil membuatnya senyum ataupun tertawa.

Sebenarnya apa yang menahanmu untuk tidak menampakkan senyum atau tawamu Hyde? Kenapa kamu selalu menyembunyikan dan membohongi perasaanmu sendiri?

“Hadirnya untuk memisahkan.” Jawabku lagi.

Hyde beralih memandangku dengan air muka terkejut. Tatapannya sulit aku artikan. Dengan jarak yang sangat dekat itu, aku dapat melihat bola matanya yang berwarna coklat muda dengan instens. Mata tajamnya seolah menghipnotisku untuk tidak berpaling pada hal lain. Sekelebat perasaan aneh menyelinap dalam benak. Darahku berdesir. Aku tidak bisa menahan jantungku yang berdebar dengan cepat.

Kenapa? Kenapa harus berdebar untuk pemuda abstrak ini?

“Terkadang yang terlihat memisahkan bisa jadi hal yang akan menyatukan.” Kata Hyde dengan tenang kemudian kembali pada gambarnya.

Aku berpaling ke arah lain kemudian menggaruk kepalaku yang tak gatal.

Bingung. Jawaban Hyde selalu saja terdengar rumit untuk aku mengerti. Sepertinya aku butuh lebih banyak waktu agar kalimat itu bisa dicerna kepala dan dapat kupahami.

Dosen mata kuliah yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. Kalimatnya Hyde menjadi penutup obrolan kami hari itu.

Setelah sesi kelas berakhir, sebatang snack coklat mendarat dengan sempurna di hadapanku. Aku mengerutkan dahi kemudian mengendarkan pandangan ke ruang kelas yang redup.

Seorang pemuda dengan jaket bomber berwarna army yang berjalan dari arah belakang mengejutkanku. Tidak kudapati seorangpun selain aku, setelah kepergiannya.

Dia meninggalkan diriku dengan segudang tanya. Aku segera berlari mengejarnya. Sesampainya di luar kelas, tidak ada seorangpun di sana. Aku berlari menyusuri koridor, menuruni tangga. Tapi takdir tidak menghendaki pertemuanku denganya.
Senin, 27 April 2020 0 komentar

Jangan Kembali

Semesta kembali mengantarmu padaku.

Di waktu lalu, senja pernah membawamu pergi bersama egoku. Sandekala menuntun langkahmu dengan abaiku.

Tapi kali ini, sinar fajar membawamu kembali. Berlalu lalang di hadapan. Beruntung, mendung tidak membuat kaca genangku semakin malu.

Sementara, semesta akan ku rayu untuk mengantarmu pulang. Si Benggala ini resah, takut kembali jatuh pada lubang ego dan berakhir abai.

Meski semesta terlihat mendukung. Mungkin, kita hanya ditakdirkan menjadi bagian untuk bertemu dan tidak untuk bersatu.

Agar tak ada lagi kata seandainya yang terngiang di waktu depan. Terimakasih
dan maaf kucapkan bersamaan.
Sabtu, 25 April 2020 0 komentar

Rumitnya kembali

Sampai sekarang masih seru
Beberapa pihak mengatakan
Hati pasti punya tempat untuk pulang

Lalu kini ku rasa rancu. Bagaimana jika tuan rumah pemilik hati, menjadi asing lalu tak mengenal si pengetuk pintu?
Pergi kemana hati kemudian?

Katanya kembali merupakan jalan bagi seseorang yang tak pernah mencoba bangkit. Bagaimana jika ku bahas mengenai, ribuan langkah yang terus berusaha lari tapi tak pernah mampu pergi?

Sebab berada dikubangan lumpur hisab. Ibarat seseorang yang terbiasa terjebak dalam rasa nyaman dan enggan beranjak. Perlukah mereka mengambil langkah?

Terakhir, bagaimana pertimbangan yang telah  dilakukan? Semesta bilang, dia bukan satu-satunya di dunia ini.

Bertanya bagaimana jika kemungkinan itu lebih diperjelas? Coba kaitkan dengan jatuh cinta.

Mengapa tidak setiap kita melangkah tak mampu menemui pemiliknya? Bukan dia satu-satunya manusia yang bermukim di bumi.

Sudah, jangan berdebat tentang mereka yang ingin kembali atau pun merujuk pergi. Mengenai bagaimana cara seseorang memilih berlabuh. Perasaan tidak semudah kata yang kau anggap saran.
Kamis, 23 April 2020 0 komentar

Sebelum usai

Waktu membawamu pergi lebih jauh dari jarak
Sebrang argumen terlalu keras beradu

Silam itu hubungan tidak karam
Tapi sisi kapal menemui celah
Membuat tenggelam
Sehingga kita kalah pada kenyataan

Kala itu langkahmu kukuh pergi
Bukan karena doronganku
Sebab ada alasan lain yang membuatmu memiliki arah selain rumah

Semua berlalu
Puzzle cerita yang baik bila dirangkai
Membuktikan setiap fase
Tidak hanya siang dan malam
Panas dan hujan
Tapi juga tentang kamu aku dan kita
Baik sebelum dan setelah menjelang usai
Rabu, 22 April 2020 0 komentar

Arah Langkah

Saat ku arahkan langkah untuk bersua denganmu di Utara. Kau justru beralih ke arah selatan. Kenapa tak berbalik arah saja? Bukankah itu akan memudahkan kita untuk lebih cepat bertemu?

Catatan putih mengalun lembut dalam fikirku. Aku tak ingin menciptakan catatan gelap terhadap tindakanmu. Tidak, aku percaya bahwa dirimu tak ubahnya seperti langit. Selalu setia kepada mataharinya

Waktu kian bertambah, begitu pula dengan langkah. Sejauh jarak yang telah berlalu, kau tak pernah menoleh sedikitpun ke arahku. Bahkan saat langkahku terhenti, sebab salah satu kaki tertusuk duri. Atau saat diri ini hampir terperosok ke dalam jurang yang curam. Kau tetap acuh dengan langkahmu yang begitu angkuh

Ingin ku berlari. Namun, sepasang kaki yang telah berjalan tersendat ini seakan tak pernah mau merestui. Kau selalu ciptakan jarak dimana selalu ada saja tanaman berduri. Sebenarnya apa maksud dari semua ini? Bahkan untuk bertemu saja, kau harus membuatku tersakiti berkali-kali.

Langit semakin gelap. Cahaya sang surya mulai meredup di ufuk barat. Saat itu jua, aku mendapatkan semua jawaban. Ternyata selama ini aku salah. 

Sang langit itu…
Ia tak benar-benar setia kepada mataharinya. Ada suatu waktu dimana ia hanya akan berdua bersama sang rembulan. Dipandu dengan pijaran para bintang

Dan matahari itu,
Ia hanya bisa menerima garis takdir. Sebab sekuat apapun untuk melawan. Langit tak pernah bisa ia miliki seutuhnya. Tak pernah benar-benar ada untuk selalu bersamanya

-kala
 
;